Korupsilah dalam Pelukan Koalisi
Denny Indrayana Guru Besar Hukum Tata Negara Senior Partner INTEGRITY Law Firm Registered Lawyer di Indonesia dan Australia
Saya sudah tidak lagi percaya dengan agenda pemberantasan korupsi Presiden Joko Widodo. Cukuplah sekali saja saya terbuai dengan halusinasi dan sensasi kampanye antikorupsi yang disuarakannya pada Pilpres 2014. Dalam perjalanannya, infrastruktur penegakan hukum dan pemberantasan korupsi adalah kegagalan utama pemerintahan Jokowi.
Presiden Jokowi Aktor Utama Pelumpuhan KPK
Presiden Jokowi adalah aktor yang paling bertanggung jawab dengan pelumpuhan dan mati-surinya Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejak lama, KPK yang kuat dan efektif membuat para koruptor gerah dan melancarkan serangan balik (corruptors fight back). Salah satu modusnya adalah dengan mendorong perubahan UU KPK. Ketika kami mengemban amanah selaku Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan KKN (2008-2011) maupun Wakil Menteri Hukum dan HAM (2011-2014), keinginan untuk melemahkan KPK melalui proses legislasi itu sudah mengemuka.
Alhamdulillah, Presiden SBY tidak menyetujui politik hukum pelemahan KPK tersebut. Tentu banyak catatan pula terkait program pemberantasan korupsi di era SBY, tetapi satu yang mesti adil diberi apresiasi adalah, Beliau teguh tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengerdilkan KPK.
Padahal banyak kasus korupsi yang disidik KPK telah merusak reputasi Partai Demokrat, bahkan keluarganya. Ada besan, menteri, pimpinan, hingga para kader utama yang terjerat kasus korupsi. Satu sisi, itu menunjukkan ada kerja antikorupsi yang perlu dibenahi serius dalam tubuh Partai Demokrat. Pada sisi lain, hal demikian menunjukkan Presiden SBY tidak ikut cawe-cawe menggunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk mengintervensi kerja-kerja KPK.
Ujungnya, karena citra korupsi yang sempat melekat-kuat pada Partai Demokrat, kursinya di DPR menukik tajam dari awalnya 148 hasil Pemilu 2009, menjadi hanya 61 di Pemilu 2014. Itulah pengorbanan mahal yang harus dibayar Presiden SBY ketika konsisten disiplin menegakkan agenda pemberantasan korupsi di tanah air.
Berbeda halnya dengan Presiden Jokowi, intervensi untuk melemahkan KPK bukan hanya dibiarkan, tetapi saya berkeyakinan dilakukan. Kalaupun ada segelintir menteri dan kader partai berkuasa yang dijerat KPK, hal demikian tidak bisa menghilangkan fakta bahwa ada Harun Masiku yang disembunyikan ditelan bumi, tidak lain karena kasusnya terkait erat, dan akan mengungkap tuntas keterlibatan sang petinggi partai. Sedikitnya kasus korupsi yang menjerat partai berkuasa bukan berarti kurangnya korupsi di lingkaran kekuasaan, tetapi KPK-nya berhasil dijinakkan dan diarahkan. Hanya memukul lawan oposisi, sambil dimanfaatkan untuk memproteksi dan merangkul kawan koalisi.
Koalisi di sini bukan berarti hanya unsur parpol, tetapi juga kroni oligarki. Saya haqul yakin dugaan korupsi oleh anak-anak Jokowi yang dilaporkan Ubedilah Badrun ke KPK, karena berkolusi bisnis dengan salah satu kerabat oligarki, tidak akan berproses kemana-mana. Diam ditempat, sebelum mati kehabisan nafas karena dipetieskan.
Setali tiga uang dengan kasus dugaan korupsi perpajakan yang melibatkan mafia oligarki tambang batubara di Kalsel. Jangankan berproses, Presiden Jokowi bahkan rela menjadi tameng hukum dengan menghadiri peresmian pabrik biodieselnya pada Oktober 2021, setelah sebelumnya di Oktober 2020 juga meresmikan pabrik gula grup usaha yang sama di Sulawesi.
Kenapa sedemikian murah pin kepresidenan digadaikan wibawanya? Karena Sang Oligarki sudah menggelontorkan saham tidak sedikit saat menjadi tim kampanye pilpres di 2019. Sehingga, pembayaran dividennya berupa proteksi dan bunker dari dugaan kasus korupsinya di KPK.
Sudah sedemikian terang lemahnya spirit antikorupsinya, Presiden Jokowi masih mencoba ngeles, lempar batu sembunyi tangan, atas hadirnya UU 19 Tahun 2019 yang merubah dan melumpuhkan KPK. Jokowi berkilah RUU perubahan adalah inisiatif DPR. Padahal semua paham, Presiden sangat bisa menolak membahas, apalagi menyetujuinya.
Sejatinya dengan kursi koalisi mayoritas DPR, Presiden bukan hanya bisa menolak perubahan UU KPK, tetapi bisa super cepat menggolkan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Pembayaran Uang Tunai. Sebagaimana Presiden Jokowi bisa super kilat, dengan minim sosialisasi sekalipun, menggolkan UU IKN, UU Cipta Kerja, dan Perubahan UU Minerba yang menguntungkan kroni bisnis dan kepentingan bohir oligarkinya.
Melalui Perubahan UU KPK, Komisi antikorupsi dirampas independensinya, diletakkan di bawah perintah Presiden Jokowi. Tidak cukup dengan melemahkan regulasinya, Presiden juga merusak institusinya. Seleksi Pimpinan KPK yang dibentuk Jokowi menghadirkan komisioner yang bermasalah secara etika. Para pejuang utama antikorupsi, dieliminasi melalui rekayasa Tes Wawasan Kebangsaan. Hasilnya, KPK yang lumpuh paripurna, secara institusional kehilangan independensi, secara personal kehilangan moralitas pribadi.
Presiden Jokowi Mempolitisasi Kasus Hukum
Presiden Jokowi tidak jujur ketika mengatakan tidak ikut cawe-cawe dalam menentukan koalisi dan kandidat paslon presiden dan wakil presiden 2024. Di panggung belakang, Presiden aktif melobi para pimpinan partai dengan memberi preferensi kepada Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, sambil menunjukkan resistensi kepada Anies Baswedan.
Salah satu instrumen utama yang dimanfaatkan adalah kasus hukum sebagai alat tukar dan daya tawar. Melalui kekuatan kendali atas KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan, pimpinan parpol yang tidak sejalan dengan strategi Presiden Jokowi akan diancam dimunculkan kasusnya, sebaliknya yang tunduk patuh akan disimpan perkaranya.
Maka, muncullah penegakan hukum yang tebang pilih, tidak lagi berdasarkan kekuatan alat-bukti, tetapi lebih kepada posisi koalisi ataukah oposisi. Jika tetap dalam koalisi Jokowi, maka dugaan kasus korupsi minyak goreng, kardus duren, izin usaha hutan dan lain-lain tidak akan ditimbulkan. Tetapi jika meloncat lepas dari strategi, beroposisi dengan mendeklarasikan capres yang dianggap antitesa Jokowi, maka muncullah kasus korupsi BTS dan sejenisnya.
Jangan salah sangka. Saya tentu mendukukung setiap upaya pemberantasan korupsi, kepada siapapun. Namun saya menolak pedang tajam pemberantasan korupsi memilah dan memilih sasarannya. Bukan tanpa alasan ketika Dewi Keadilan digambarkan memegang pedangnya sambil menutup matanya. Itu adalah filosofi dasar bahwa hukum harus ditegakkan tanpa memandang bulu pelakunya. Ketika mata pedang hukum bisa melihat, dan sasarannya ditebaskan hanya pada lawan politik, dan sengaja dilepaskan kepada kawan politik, maka penegakan hukum demikian justru sangat berbahaya, dan rentan manipulasi.
Hukum harus memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan siapapun, lawan oposisi, ataupun kawan koalisi. Karena yang harus diperjuangkan adalah kepentingan kebangsaan antikorupsi, bukan perlindungan untuk perkoncoan yang kolutif ataupun gangster oligarki yang koruptif.
Apakah dugaan kasus korupsi BTS yang menjerat Sekjen Partai Nasdem Johnny G. Plate adalah murni perkara hukum, harus dibuktikan melalui proses peradilan yang bebas intervensi politik. Namun, melihat momentum dan dinamika yang sekarang ada, sangat sulit untuk tidak berhipotesis bahwa kasus ini sarat dengan upaya tekanan politik kepada Nasdem, khususnya terkait dengan pencapresan Anies Baswedan di Pilpres 2024.
Dalam artikel panjang lebar “Bagaimana Jokowi Mendukung Ganjar, Mencadangkan Prabowo dan Menolak Anies”, yang dipublikasikan di website INTEGRITY (www.integritylawfirms.com), saya sudah menguraikan cukup lengkap fakta dan informasi bagaimana Presiden Widodo memberikan preferensi kepada Pranowo dan Prabowo, sambil berupaya mengeliminasi pencalonan Anies Baswedan.
Pimpinan partai yang coba-coba nakal, melirak-lirik pencapresan Anies, akhirnya digulingkan. Koalisi pendukung Anies terus digoda materi, menteri, hingga ancaman kasus korupsi. Tanyakan kepada PKS sudah berapa kali mereka ditawarkan menteri Jokowi. Sedang Partai Demokrat, terus diganggu melalui manuver Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Menggunakan kata Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP Muhammad Romahurmuziy, Moeldoko terus berusaha “mencopet” Partai Demokrat dari pemiliknya yang sah.
Anehnya –atau mungkin sebenarnya tidak aneh— Presiden Jokowi diam hening, tanpa memberikan sanksi apapun. Kilahnya, itu hak politik pribadi Pak Moeldoko. Kalau pencopetan dan pencurian partai dianggap absah karena hak politik, saya khawatir Presiden Jokowi melupakan sejarah partainya sendiri. Ibu Megawati Soekarnoputri semestinya menegur keras sang Petugas Partai yang melupakan sejarah kelam ketika PDI Megawati ingin dirampok oleh PDI Soerjadi melalui campur tangan rezim Orde Baru.
Yang sekarang harus dikawal dan diteriakkan lantang adalah: Presiden Jokowi ikut membiarkan dan karenanya bertanggung jawab dengan pencopetan Partai Demokrat yang sekarang sedang berproses melalui modus Peninjauan Kembali kubu Moeldoko di Mahkamah Agung. Tidak boleh, putusan MA tiba-tiba hadir menjungkirbalikkan logika dan fakta hukum.
Namun, hal demikian bukan tidak mungkin terjadi, di tengah adanya informasi bahwa kasus PK Partai Demokrat di MA itu ditukargulingkan dengan kasus dugaan korupsi para hakim agung yang sekarang ditangani KPK. Informasinya, para hakim agung yang sedang terjerat dugaan korupsi mafia hukum akan dibantu kasus dan hukumannya menjadi ringan, asalkan mereka membantu pemenangan PK Moeldoko.
Kalau PK atas Partai Demokrat dimenangkan, menjadi seolah-olah absahlah pencopetan yang dilakukan Moeldoko. Ujungnya, dapat dipastikan, Partai Demokrat jadi-jadian versi Moeldoko akan menarik dukungan pencapresan dari Anies Baswedan, karena memang demikiankah skenario yang disusun oleh Jokowi, dan karenanya Beliau mendiamkan, alias menyetujui tingkah-polah Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenannya sendiri.
Jika PKS dan Demokrat digoyang dengan berbagai cara, Nasdem tidak kalah pula terjangannya. Dugaan kasus korupsi BTS hanya salah satunya saja. Ketum Surya Paloh akan punya banyak cerita, bagaimana Nasdem diancam dan digoda.
Korupsilah Asal Koalisi, Jangan Oposisi
Sekali lagi penegakan hukum korupsi yang hanya memukul oposisi, lawan politik, sambil merangkul koalisi, kawan politik, adalah penegakan hukum yang manipulatif. Sama sekali tidak ada pesan pemberantasan korupsi dalam model pilah-pilih perkara korupsi yang demikian.
Pesannya justru negatif: silakan korupsi, sebanyak mungkin boleh, asal dalam barisan koalisi, insya allah akan diproteksi. Jangan pernah korupsi pada barisan oposisi, karena sama saja dengan bunuh diri. Hanya soal waktu sebelum tangan diborgol, mengunci.
Dalam kasus BTS, Ketum Nasdem Surya Paloh sudah menegaskan, silakan diaudit aliran keuangan dari ujung kiri ke ujung kanan, dari ujung utara sampai ujung ke selatan, ibaratnya dari segala penjuru mata angin. Nasdem akan memberikan totalitas dukungannya.
Namun, saya menduga audit aliran dana korupsipun akan dipilih-kasih. Dugaan aliran dana yang mengarah ke lingkaran kekuasaan akan ditutup dan disembunyikan, karena akan terkait dengan nama-nama yang hebat kerabat dekat kader utama partai, yang tak perlu disebutkan namanya.
Padahal, penegakan hukum yang tebang pilih, akan lebih berbahaya dibandingkan penegakan hukum yang diam. Karena ibarat pedang keadilan, jika diam masih mungkin tidak bersimbah darah. Namun, jika pedang keadilan ditebaskan kepada target lawan politik tertentu semata, demi dahaga melanggengkan kekuasaan, maka sejatinya yang terjadi adalah pertarungan politik curang perebutan kuasa, yang menghalalkan segala cara, salah satunya dengan memperalat instrumen hukum.
Korupsi harus diberantas, dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dimanapun. Politisasi kasus korupsi yang diduga terbaca jelas sedang dilakukan Presiden Jokowi, seolah memberantas korupsi, padahal senyatanya menjalankan agenda politik haus kekuasaan, adalah cara-cara yang akan mengkorupsi penegakan hukum antikorupsi itu sendiri.
Siapapun, termasuk presiden, yang memilah-milih penegakan kasus korupsi, hanya tajam pada oposisi, lawan politik, sejatinya adalah pelaku political corruption itu sendiri yang berteriak lantang tanpa malu: Korupsilah, tapi dalam Pelukan Koalisiku. (*)
3 Responses
Penegakan hukum tajam ke oposisi tumpul ke koalisi
Tidak ada kata selain melawan para penjajaha dari negeri sendiri, dan mungkin terlihat sulit tapi harus di coba
Saya ini orang jelata yg hanya berpendidikan SLTA, namun saya juga punya pemikiran kritis & realitis. Sejak awal kemunculannya JOKOWI,saya sempat kagum kpd beliau, namun begitu cepat meloncat kariernya dari seorang walikota,terus ke gubernur DKI,sampe akhirnya nyapres.hati saya pun bertanya-tanya siapakah orang ini “(Jokowi). Secara background biografinya dia hanya seorang pungasaha kayu furniture biasa bukan seorang politikus ulung dan berpengalaman. Kok?? Begitu sedasyat sekali populeritasnya. Disitulah saya bertanya, ada siapakah dibalik sosok Jokowi dengan begitu hebohnya pemberitaan populeritasnya. Dalam hati saya pasti ini ada sebuah konsfirasi besar yang bukan main- main kepentingan politik nya daripada para elite politikus & mafia besar di negeri ini. Lalu saya ikuti perjalanan politiknya sampai dia terpilih jadi presiden periode 2014-2019. Dan saya ikuti setiap pemberitaan perjalanan pemerintahannya, soai terjadinya kasus seorang anak remaja yang iseng mengejeknya di perkarakan kasus pidana. Nah disitulah kecurigaan saya mulai terkuak siapa sosok Jokowi sebenarnya, yg katanya pembela wong cilik, malah tega sekali menebas pedang hukum kepada seorang anak yatim yg dari kalangan masyarakat kecil, apakah begitu kerdilnya Sorang penguasa yg berasal dari wong cilik.dan terus tahun demi tahun, tahapan demi tahapan saya ikuti terus pemberitaan di setiap media sampai sekarang di periode kedua kekuasaannya, terbukti & terkuak sudah ternya oh teryata benar ada KONSFIRASI BESAR di belakang sosok JOKO WIDODO.