Oleh:
Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.
Muhamad Raziv Barokah, S.H., M.H.
APA ITU PERMOHONAN FIKTIF DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA?
Hukum administrasi di Indonesia menyediakan sarana untuk mengajukan gugatan terhadap perlakuan yang merugikan dari negara/pemerintah kepada setiap warga masyarakat. Terdapat 2 (dua) objek dari permohonan tersebut, yakni Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan Tindakan Faktual Pemerintah (TF). Keduanya adalah produk yang nyata yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Lantas apa yang dimaksud dengan gugatan fiktif? Gugatan fiktif (dikenal dengan permohonan) adalah permohonan tata usaha negara akibat sikap diam (pengabaian) pemerintah atas permohonan administrasi yang diajukan oleh warga masyarakat. Apabila dalam batas waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, pemerintah tidak mengeluarkan keputusan apapun terkait permohonan yang diajukan, maka pembiaran tersebut dianggap sebagai sebuah objek hukum berupa KTUN yang dapat dimohonkan dihadapan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Kaidah KTUN Fiktif ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (“UU PTUN”) sebagai berikut:
PASAL 3 AYAT (1) UU PTUN
(1) | Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. |
PERKEMBANGAN PERMOHONAN FIKTIF BERDASARKAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Terdapat 2 (dua) kondisi dari sifat KTUN Fiktif yang muncul akibat pembiaran dari Pemerintah atas permohonan warga negara, yakni KTUN yang dianggap menolak permohonan (Fiktif Negatif/Tacit Refusal) dan KTUN yang dianggap mengabulkan permohonan (Fiktif Positif/Tacit Authorization), keduanya adalah Objek Permohonan yang dapat diajukan ke hadapan PTUN.
Keberlakuan keduanya juga mengalami perubahan seiring berkembangnya politik hukum administrasi yang dibentuk oleh Pemerintah.
Pada mulanya, yang berlaku di Indonesia adalah Permohonan Fiktif Negatif, di mana apabila dalam batas waktu tertentu Pemerintah membiarkan permohonan yang diajukan oleh warga masyarakat, maka pembiaran itu dianggap menjadi sebuah KTUN yang menolak permohonan warga, sehingga dapat diajukan ke PTUN. Hal itu sebagaimana diatur dalam UU PTUN sebagai berikut:
PASAL 3 AYAT (2) UU PTUN
(2) | Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. |
Namun, 28 tahun berikutnya, terjadi perubahan sifat KTUN Fiktif dari Fiktif Negatif menjadi Fiktif Positif. Hal itu ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU AP”) yang mengatur sebagai berikut:
PASAL 53 AYAT (3) UU AP
(3) | Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. |
Pergeseran keberlakuan dari Fiktif Negatif ke Fiktif Positif dipertegas oleh Mahkamah Agung RI berdasarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Pemberlakuan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Peradilan (“SEMA 1/2017”) yang menetapkan sebagai berikut:
SEMA 1/2017, Halaman 27, angka 4, huruf a:
a. | Berdasarkan ketentuan Pasal 53 UU AP yang mengatur mengenai permohonan fiktif-positif, maka ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengenai permohonan fiktif-negatif tidak dapat diberlakukan lagi […] |
Dengan diundangkannya UU AP dan SEMA 1/2017, maka saat ini permohonan fiktif yang berlaku adalah Fiktif Positif.
PERUBAHAN KOMPETENSI PERMOHONAN FIKTIF POSITIF PASCA BERLAKUNYA OMNIBUS LAW
Meskipun terjadi perubahan keberlakuan Permohonan Fiktif yang diatur dalam UU PTUN dan UU AP, keduanya tetap meletakkan kompetensinya pada PTUN. Pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja (“Omnibus Law”), PTUN kehilangan dasar hukum untuk mengadili Permohonan Fiktif Positif. Hal itu sebagaimana diatur dalam Omnibus Law yang mengubah ketentuan mengenai kewenangan PTUN dalam mengadili Permohonan Fiktif Positif sebagai berikut:
Meskipun PTUN telah kehilangan dasar dalam mengadili Permohonan Fiktif Positif dalam UU AP, namun bukan berarti secara otomatis kewenangan PTUN hilang begitu saja. Omnibus Law mengubah sarana Permohonan Fiktif Positif dari kewenangan PTUN menjadi “diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Presiden”. Perpres ini nantinya akan mengatur lebih lanjut mengenai teknis Permohonan Fiktif Positif, bisa dalam sarana lain, ataupun bisa juga dikembalikan ke PTUN.
Namun penting untuk digaris bawahi bahwa pengaturan dalam Omnibus Law yang menyerahkan perihal kewenangan PTUN dalam mengadili permohonan fiktif diatur lebih lanjut dalam Perpres bukanlah suatu hal yang tepat. Hal ini memunculkan masalah dari segi pembentukan peraturan perundang-undangan, mengingat UUD 1945 menetapkan bahwa perihal kewenangan badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman, harus diatur dalam undang-undang.
PASAL 24 ayat (3) UUD 1945
(3) | Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.****) |
Sementara Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU PUU”) mengatur bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945, adalah materi muatan sebuah undang-undang, bukan Perpres.
Terlepas dari kesalahan metode penempatan dasar hukum yang terdapat dalam Omnibus Law, perlu diketahui hingga artikel ini ditulis, Perpres a quo belum terbit, maka terjadi kekosongan hukum mengenai Permohonan Fiktif Positif.
Untuk mengisi kekosongan tersebut, Mahkamah Agung RI melalui Ditjen Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara (“DITJENMILTUN”) menerbikan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Penanganan Pendaftaran Perkara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (“SE DITJENMILTUN 2/2021”).
Surat Edaran tersebut memberikan kemungkinan Permohonan Fiktif Positif untuk tetap dapat diajukan ke PTUN selama Perpres turunan Omnibus Law belum juga diterbitkan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Surat Edaran sebagai berikut:
SE DITJENMILTUN 2/2021, Angka 5, huruf b dan c:
b. | Dalam hal masyarakat pencari keadilan masih ada yang berkeinginan untuk mendaftarkan perkara untuk memperoleh putusan atas penerimaan permohonan guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan hendaknya berpedoman pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya; |
c. | Tata cara mengenai penanganan pendaftaran perkara untuk memperoleh putusan atas penerimaan permohonan guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan. |
SE DITJENMILTUN 2/2021 dapat dijadikan dasar agar PTUN menerima setiap Permohonan Fiktif Positif yang diajukan sebelum diterbitkannya Perpres turunan Omnibus law. Meskipun demikian, karena dasar hukumnya masih pada level Surat Edaran DITJENMILTUN, dibutuhkan rumusan argumentasi yang kokoh dan sistematika yang runtut pada bagian dalil kewenangan PTUN dalam mengajukan Permohonan Fiktif Positif. Hal ini agar Hakim PTUN dapat teryakini dengan mudah untuk menerima permohonan yang diajukan.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, diundangkannya Omnibus Law telah menghapus dasar hukum bagi PTUN dalam memeriksa dan mengadili Permohonan Fiktif Positif sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU AP. Meskipun demikian, tidak otomatis menghilangkan kewenangan PTUN dalam mengadili Permohonan Fiktif Positif. Omnibus Law mengatur bahwa bentuk produk dari Permohonan Fiktif Positif akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Peraturan Presiden turunan Omnibus Law belum juga terbit hingga saat ini, sehingga terjadi kekosongan hukum. Untuk itu, Mahkamah Agung RI melalui DITJENMILTUN menerbitkan Surat Edaran yang masih membuka peluang menerima pendaftaran Permohonan Fiktif Positif.
Mengingat dasar hukum forum Permohonan Fiktif Positif yang masih pada level Surat Edaran, dibutuhkan rumusan argumentasi yang kuat disertai dengan sistematika yang runtut agar PTUN teryakini untuk memeriksa dan mengadili Permohonan Fiktif Positif yang akan diajukan.
Demikian INTEGRITY LEGAL UPDATE ini kami sampaikan untuk menjadi pedoman bagi klien dan warga masyarakat pada umumnya. Semoga bermanfaat.
Salam integritas.